Dear suamiku kelak,
Saya tiba-tiba ingin menulis surat
untuk kamu. Seberapa lama lagi, kamu datang menghamipiri saya dan menjemput
saya? Ohh mungkin, ketika studi saya selesai atau disela-sela studi saya
berikutnya atau bisa juga disela-sela saya meniti karir entahlah dengan cara apa kamu datang kelak. Yang perlu kamu tau hanya saya sudah
tidak sabar bertemu dengan kamu. Nanti
kalau pernikahan kita, biarkan papah saja ya yang menjabat tangan kamu
langsung. Karena itu mimpi saya, biarkan papah yang langsung menyerahkan anak
perempuan satu-satunya ini kepada seseorang yang baginya yang terbaik dan bisa
menjaga putri kesayangannya ini. Saya menangis menulis paragraph ini, tentu
saja kamu tau betapa sayangnya saya dengan papah saya. Jadi biarkan sampai
nanti, saya tetap menjaga papah dan mamah karena mereka adalah harta di dunia
ini bagi saya.
Oiya jangan khawatir ketika saya
berkarir nanti sayang, karena kamu dan anak-anak kita tetap menjadi nomer satu
bagi saya. Kelak saya akan menjadi seorang mungkin adalah wanita karir yang memimpin suatu divisi sebuah perusahaan sayang. Tentu saja saya tidak akan mencampur adukkan urusan pekerjaan saya dan keluarga kita. Nanti kelak bisa saja saya bekerja di rumah, tapi tenang saya akan membedakan waktu
keluarga kita dan jadwal saya harus bekerja. Tentu saja saya akan selalu
mengutamakan kamu dan anak-anak kita. Kenapa? Karena saya pernah merasakan,
betapa sedihnya ketika saya hanya bisa bertemu dengan mamah waktu sore
setelah mamah dari kantor. Saya pernah merasakan itu, betapa saya merasa
dicampakkan, saya merasa tidak ada yang mendengar cerita saya. Saya sudah
berjanji dan mengatakan bahwa kelak anak-anak kita akan selalu bisa bercerita
dengan saya dan kamu tentang bagaimana harinya, bagaimana sekolahnya, bagaimana
teman-temannya semuanya yang ingin anak-anak kita ceritakan dan kita akan
selalu ada untuk mereka. Saya tidak ingin anak-anak kita merasa memendam semuanya sendiri, hingga bisa saja semuanya pecah begitu saja. Kelak mungkin bisa saja saya jenuh dengan pekerjaan
menumpuk dan lain-lain. Sayang, tetaplah memeluk saya
dan membuat saya kembali bersemangat ya sayang. Karena saya tau, kamu tidak
akan membiarkan istrimu kelelahan dan sedih. Saya tau kamu akan selalu ada dan
memeluk saya sebagai obat yang ampuh untuk saya.
Sayang, nanti kalau kamu pulang kantor
setelah berjam-jam di kantor mengurus ini-itu saya sudah menanti dengan teh hangat
dan cookies buatan saya. Kamu taukan saya suka memasak dari sekarang, supaya
kelak jika kita sudah bersama saya dapat memastikan kamu dan anak-anak kita
kenyang dan selalu kangen masakkan ibunya. Iya saya ingin sekali dipanggil
‘’Ibu’’ biarin dibilang gak gaul, karena menurut dosen saya panggilan untuk
orangtua dari anak-anak akan mempengaruhi psikologis dia. Jadi kamu ingin
dipanggil apa? Bapak atau Ayah?
Saya tidak ingin anak-anak kita terlalu manja.
Kelak anak-anak kita harus belajar dari kecil apa artinya ‘kecewa’? Agar mereka
bisa kuat dan memiliki problem sovling yang baik. Kelak juga, anak-anak kita
harus tau bagaimana berjuang untuk mendapatkan sesuatu? Tentang bagaimana anak-anak kita beradaptasi di sosialisasi primer dan sekunder. Ohh saya sudah
terlalu banyak bicara ya sayang.
Saya akan membuat lingkungan kita
nyaman untuk kamu, saya, dan anak-anak kita karena kamu tau sayang lingkungan
mempengaruhi perilaku individunya. Itu sebabnya saya ingin membuat lingkungan
kita dan anak-anak kita nyaman. Ah… betapa saya sudah tidak sabar ingin membuat
istana bersama kamu dan anak-anak kita. Istana sederhana yang dipenuhi bunga
seperti mimpi saya. Jadi sepertinya sudah cukup surat panjang ini ya sayang,
maafkan kecerewetan calon istrimu ini.
Berjanjilah kepada saya, bagaimanapun saya kelak. Berjanjilah tidak pernah lelah sampai kita menua kelak. Berjanjilah selalu memeluk saya setiap hari, berjanjilah akan selalu ada merangkai mimpi-mimpi kita bersama.
Dari yang menunggumu,
Meisza Adilla Herssy